sejarah media cetak
Pidato Soekarno di Lapangan Ikada (sumber : Arsip RI)

Zaman dimana belum ada televisi, apalagi internet. Pergerakan menuju kemerdekaan ditandai oleh kebangkitan nasional yang diprakarsai oleh Boedi Oetomo. Tercatat dalam sejarah Indonesia, mesin percetakan telah mulai diadakan oleh pihak pemerintahan Hindia Belanda, yang awalnya digunakan untuk propaganda dalam menanamkan kepercayaan masyarakat terhadap pembentukan kolonial Hindia Belanda. Maka itu kenapa Belanda mengijinkan berdirinya Percetakan Balai Pustaka, sebagai percetakan pertama di Indonesia. Mesin-mesin grafika juga didatangkan dari Jerman untuk digunakan memproduksi bibble (buku kitab suci alkitab) terutama dilakukan di Percetakan Kanisius saat itu.


baca juga: Percetakan Kanisius, “Sinergi Bakti Untuk Negeri”


sejarah media cetak
Mesin cetak Heidelberg Tiegel untuk cetak kemasan rokok di museum Sampoerna
Sejarah Percetakan Di Indonesia

Sejarah grafika di Indonesia mungkin bahkan lebih tua dari yang tercatat di tahun 1937, saat Federatie van Drukkerspatroons berdiri. Dimana 5 Agustus 1937 tepatnya, disahkannya penggunaan buku pedoman tarif kalkulasi percetakan.

Cerminan nasionalisme bangsa Indonesia bisa dicermati dari perkembangan graphic art di negeri ini, terutama pada sektor percetakan. Seiring berkembangnya pola pemikiran dari kalangan nasionalis seperti Dr. Soetomo, HOS Cokroaminoto, Kyai Haji Agus Salim yang dikembangkan dalam tulisan-tulisan yang membakar semangat nasionalisme. Koran-koran lokal dipenuhi dengan berbagai catatan harian dari para penulis ‘fundamentalis’ yang dianggap ekstrimis oleh pemerintah kolonial Belanda; seperti Oetoesan Hindia, Soeloeh indonesia dan Fikiran Ra’jat di Bandung.

Tulisan-tulisan para tokoh bangsa ini, menyempal dari keterbiasaan 350 tahun dijajah. Mereka menyindir kemapanan yang telah dirasakan bagi sebagian besar orang di perkotaan saat itu. Kebanggaan sebagai pegawai negeri atau sipir Belanda. Para pembangkang dari kemapanan tempo doeloe itu kini digelari pahlawan di jaman sekarang. Di masa-masa itu muncul seorang Koesno Sosrodihardjo, yang kemudian dikenal dengan nama besar Bung Karno.

Soekarno muda memang bukan seorang pelaku grafika. Tetapi cita rasanya adalah seorang grafis sejati. budaya grafika, Seni-seni grafis di Indonesia mulai tumbuh kembang di era kepemimpinan Beliau. Sang Proklamator ini ahli dalam seni membangun imaging dalam photographic dan dekorasi. Selain kepiawaiannya dalam berorasi dan kepandaiannya merangkai kata-kata dalam tulisan. Berbagai monumen yang melegenda di Jakarta lahir dari prakarsanya.

Di masa pendudukan Jepang antara tahun 1942 hingga 1945, praktis kegiatan cetak mencetak hampir–hampir vakum. Karena Jepang yang lebih represif terhadap tanah jajahannya, dalam usaha memenangkan perang Asia Pasifik Raya. Tidak ada kehidupan berorganisasi bagi para pengusaha percetakan. Kehidupan dunia percetakan Indonesia mulai bangkit lagi di sekitar tahun 1949 – 1951 di Jakarta, dengan lahirnya “Ikatan Pertjetakan Indonesia” (IPERTI) yang keanggotaannya umumnya berasal dari kalangan percetakan milik Belanda serta Tionghoa dan hanya satu – dua milik pribumi.

Paska Kemerdekaan

Industri grafika mulai tumbuh subur di era ini, seiring maraknya berbagai penerbitan harian, yang lebih banyak merupakan ‘underbow’ atau media propaganda bagi partai-partai yang bermunculan di era kabinet parlementer. Di dekade ini pula, harian yang kelak menjadi harian besar di Indonesia, Jawa Pos didirikan di tahun 1949 oleh The Chung Shen.

sejarah media cetak
Mesin cetak Harian Kedaulatan Rakyat

Di sektor kemasan, produk-produk retail belum sebanyak sekarang. Kemasannya masih apa adanya. Standar bungkus di pasar-pasar tradisional. Hanya bungkus rokok yang sudah menggunakan kemasan yang dicetak. Perusahaan-perusahaan percetakan milik pribumi juga mulai tumbuh pada awal tahun 1950-an, karena merasa terpencil dan terdesak dan akhirnya bergabung dan “menyusun kekuatan” sebagai gabungan perusahaan percetakan nasional.

Di Era kepemimpinan Soekarno pulalah, sekitar pertengahan tahun 1953, berdiri “Perserikatan Usaha Grafika Nasional Indonesia” (Grafika Nasional) yang dianggap sebagai perintis dalam perkembangan organisasi industri grafika di Indonesia. Motivasi utama dalam pembentukan satu wadah organisasi ini adalah untuk menggalang persatuan dan kesatuan di kalangan pengusaha Industri grafika pribumi. Dibentuk oleh para pengusaha nasional pribumi. Adapun tokoh-tokoh pendirinya R.S Sastrosoewigno, I.Sasmitaatmadja, Abdoellah, Soekadis dan A. Zakaria.

Salah satu rencana kerja organisasi ini adalah, “mempersatukan perusahaan industri grafika nasional di seluruh Indonesia atas dasar persamaan kepentingan”. Sekitar pertengahan tahun 1955, kepengurusan Dewan Pengurus Perserikatan Usaha Grafika Nasional terbentuk yang terdiri dari Sukamdani S.Gitosardjono, H.Dj,Damanik, D.Soeradji, M.Joesoef Ahmad, A.K.Loebis, J.Sirie, Notosoetardjo dan Abdoellah.
sejarah percetakan indonesia
Prof Dr. H. Soekamdani Sahid Gitosardjono, Danie dan Lukman saat pencetakan perdana Solo Pos (sumber foto : pusdok SOLO POS)

Setelah melalui pendekatan serta pertemuan dengan organisasi – organisasi percetakan di berbagai provinsi di luar Jakarta, dengan tujuan menggalang persatuan dan kesatuan para pengusaha percetakan Nasional Pribumi seluruh Indonesia, tepatnya di Bandung, tanggal 22 s.d 25 Juli 1956 berlangsung kongres I yang melahirkan “Persatuan Perusahaan Grafika Indonesia” atau dikenal sebagai PPGI. (Dikutip dari sejarah PPGI)

Terpilih dalam susunan Dewan Pimpinan Pusat adalah Notosoetardjo, Samasi, M.Joesoef Ahmad, Sukamdani S.Gitosardjono, H. Damanik, Hadisoetopo. Dalam kepengurusan ini duduk pula perwakilan dari berbagai cabang organisasi yaitu dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Tengah, Sumatera Selatan, Jakarta Raya, kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Nusatenggara, dan Sulawesi. Tujuan utama berorganisasi untuk kepentingan persatuan dan kesatuan memperoleh ujian dalam penyelenggaraan kongres II di Salatiga dari tanggal 15 s/d 18 September 1958 yang berakhir dengan terjadinya perpecahan yang melahirkan organisasi tandingan “Persatuan Industri Grafika Indonesia” (PERGRAFI). Kedua Organisasi ini berjalan secara terpisah dan kedua-duanya memperoleh pengakuan dari pemerintah melalui Departemen Perindustrian.

Di Era tahun 1960

Pemerintah membuat regulasi, mengharuskan organisasi-organisasi sejenis masuk dalam Organisasi Perusahaan Sejenis (OPS) sehingga organisasi-organisasi grafika terhimpun dalam wadah OPS Grafika dan dinaungkan di bawah induk Organisasi Gabungan Perusahaan Sejenis (GPS) Kertas dan Percetakan.

sejarah media cetak
Gedung Landmark Braga, sebelumnya pernah digunakan sebagai percetakan (sumber: DAKOTA)

Semenjak akhir tahun 1966 terasa kekosongan dalam kehidupan organisasi industri grafika. Tekanan yang cenderung represif dimana pers lebih banyak dibungkam di zaman orde baru, ikut mempengaruhi perkembangan industri surat kabar. Sementara bermunculan industri grafika baru di sektor kemasan, baik dalam rangka PMDN maupun PMA yang memperoleh ijin dari BKPM, sebagai unsur penopang dan penunjang kehidupan industri manufaktur lainnya, industri grafika sangat diperlukan.

Sebelumnya, tanggal 28 Juni tahun 1965, Kompas mulai terbit berkantor di Jakarta Pusat dengan tiras 4.800 eksemplar. Sejak tahun 1969, Kompas mulai memimpin penjualan surat kabar secara nasional. Pada tahun 2004, tiras hariannya mencapai 530.000 eksemplar, khusus untuk edisi sabtu dan minggunya malah mencapai 610.000 eksemplar. Pembaca koran ini mencapai 2,25 juta orang di seluruh Indonesia.

Tempo, majalah dengan berita-berita paling kritis di Indonesia yang terbit mingguan, pertama kali hadir pada April 1971. Pada awalnya, Tempo hanya dimodali 20 juta rupiah oleh Yayasan Jaya Raya milik pengusaha Ciputra; digawangi oleh para seniman dan wartawan berpengalaman, yang berasal dari Ekspress, Kompas, dan lainnya.

Para seniman dan wartawan itu diantaranya adalah Goenawan Mohamad (Ketua Dewan Redaksi), Bur Rasuanto (Wakil Ketua), Usamah, Fikri Jufri, Cristianto Wibisono, Toeti Kakiailatu, Harjoko Trisnadi, Lukman Setiawan, Syu’bah Asa, Zen Umar Purba, Putu Wijaya, Isma Sawitri, Salim Said, dan lainnya. Eric Samola ditunjuk pihak Yayasan Jaya Raya untuk dan mengelola Tempo dalam sisi bisnisnya.

Kini di jaman digital, dunia grafika Indonesia tetap mengalami peningkatan yang signifikan. Menurut data terakhir dari BPS tahun 2011, bisnis percetakan dan converting tumbuh sekitar 4,7% dari tahun sebelumnya dan data dari Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia, kapasitas industri kertas mencapai 12,5 juta ton per tahun dengan rata-rata konsumsi domestik mencapai 7 ton atau 60–65% per tahun.

Dan data terkini di tahun 2018 (Sumber dari Smithers Pira), pasar bisnis percetakan di Indonesia bergerak menuju angka US$ 14,5 milyar (Rp 200 trilyun dengan kurs Rp 14.000). Indonesia menempati urutan 6 di Asia, setelah China, Jepang, India, Korea Selatan dan Taiwan.