Arus perubahan dan teknologi yang mengalir deras dalam kurun 15 tahun terakhir yang ditandai dengan memuncaknya penggunaan smartphone dan sosial media, menginspirasi teknolog untuk menciptakan berbagai kemudahan bagi manusia. Dorongan perubahan terus bergaung, dan semua bergerak ke arah yang sama, ada yang cepat ada yang lambat.

Seperti biasa, lambat adalah mayoritas. Hingga tiba saatnya yang tidak bisa dihindari, bahkan tidak terduga sama sekali bahwa perubahan total harus dilakukan tanpa peringatan dan kemudahan adaptasi lagi. Melainkan lewat pemaksaan situasi, Pandemi Covid 19.

Kemampuan dan keterampilan berbasis digital dengan tingkat interaksi yang tinggi terhadap alat ketimbang individu merupakan budaya baru bagi individu non IT.

Terlepas dari peringatan perubahan selama bertahun-tahun, kesenjangan keterampilan terus meningkat – tidak hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Laporan PwC Talent Trends 2019 menemukan bahwa 79 persen CEO di seluruh dunia “kuatir bahwa kurangnya keterampilan penting dalam tenaga kerja mereka mengancam pertumbuhan organisasi mereka di masa depan,” dibandingkan dengan yang masih sekitar 53 persen pada 2012.

Laurent Probst dan Christian Scharff, bermitra dengan PwC Luxembourg, telah melaporkan, peningkatan keterampilan sangat penting. Dorongan untuk membangun keterampilan baru untuk dunia baru, untuk memperluas kemampuan karyawan yang ada, terjadi di tingkat perusahaan, industri, atau komunitas. Lebih jauh ditemukan bahwa bahkan program peningkatan keterampilan yang paling baik sekalipun sering dihambat oleh tantangan yang tidak siap bagi banyak eksekutif: memotivasi karyawan untuk belajar.

Dalam survei Gallup , 59 persen generasi milenium, serta 44 persen gen Xers dan 41 persen baby boomer, mengatakan peluang untuk belajar dan tumbuh sangat penting bagi mereka ketika mempertimbangkan pekerjaan.

Tetapi ada perbedaan antara keinginan untuk belajar dan mewujudkannya . Dan banyak faktor yang dapat melemahkan motivasi pekerja untuk mengembangkan keterampilan baru.

Bror Saxberg, wakil presiden pembelajaran sains di Chan Zuckerberg Initiative , mengatakan empat faktor utama mencegah pekerja termotivasi untuk belajar:

  1. Mereka tidak menghargai apa yang mereka pelajari atau bagaimana mereka mempelajarinya,
  2. Mereka tidak percaya mereka dapat menguasai keterampilan,
  3. Mereka menyalahkan keadaan lingkungan (merasa tidak punya waktu untuk belajar),
  4. Mereka berjuang dengan keadaan emosi negatif yang mengalihkan mereka dari belajar.

Sistem yang tepat dalam bisnis dapat membantu karyawan mengatasi hambatan ini dan merasa termotivasi untuk menjadikan belajar sebagai bagian dari pekerjaan sehari-hari mereka. Lantas langkah-langkah apa yg dapat dilakukan saat karyawan bekerja di rumah?- Baca di : 3 langkah utama saat karyawan bekerja dari rumah selama pandemi COVID-19.

Materi ini diadaptasi dari artikel yang ditulis oleh Kelly Palmer, Chief Learning Executive LinkedIn dan Aaron Hurst, founder dan CEO Imperative.