Harapan Prima Printing, Percetakan Berkelas Premium
Di tengah hiruk pikuk kegiatan percetakan yang menawarkan ongkos murah dan cepat, yang bertebaran di daerah Kalibaru, Jakarta. Ternyata ada percetakan yang begitu fokus terhadap kualitas. Ya, Percetakan Harapan Prima, yang terletak di Jalan Kebon Kosong III no.18 RT 011/01 Jakarta. Pemiliknya adalah Djoni Heng, 55 tahun, berasal dari Perdagangan, Kabupaten Simalungun, daerah antara Pematang Siantar dan Tebing Tinggi, Sumatera Utara.
Redaksi Print Graphic berkunjung ke Percetakan Harapan Prima dan mewawancarai Bapak Djoni, untuk mendapatkan ilmu tentang persistensi dan keuletan, dipadu dengan cita rasa tinggi meraih yang terbaik dalam usaha printing. Berikut ini ulasannya :
Bagaimana Bapak memulai ini semua hingga menjadi sebesar ini?
Dimulai pada akhir tahun 1976, di usia saya saat itu 18 tahun. Setelah lulus SMA, saya berniat kuliah di Penang, Malaysia. Saya sempat tinggal disana selama 3 bulan. Ternyata proses untuk masuk kuliah di Penang ini agak susah. Pada saat proses menunggu, ada saudara saya yang bekerja di Jakarta mengajak tinggal bersamanya. Ia mengontrak rumah bersama temannya. Orang tua saya pun mendukung, “sebaiknya tinggal di Jakarta saja”, saran mereka.
Akhirnya saya kuliah di Jakarta Amerika Language Centre, mengambil jurusan bahasa Inggris. Kebetulan jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah saudara saya itu. Saya mengambil jadwal kuliah sore. Di waktu pagi saya tidak ada kegiatan. Disini mulai terpikir, daripada diam saja, saya bantu teman saudara saya saja yang kebetulan punya usaha percetakan di Jalan Pangeran Jayakarta. Sering waktu berjalan, yang tadinya untuk mengisi waktu senggang, makin lama makin serius. Saya semakin paham dunia percetakan. Saya enjoy karena setiap harinya job cetakan selalu berubah. Ya, awalnya untuk mengisi waktu luang saja, setelah berjalan sekian tahun, akhirnya mulai mencoba berjalan sendiri.
Setelah sekian tahun, saya mulai mencoba berdiri sendiri di tahun 1983, order-order cetak yang saya kejar sejak awal memang spesifik, bukan cetakan yang sifatnya umum. Seperti bidang cetak untuk keperluan studio fotografi, kemudian saya mendapat order cetak keperluan hotel. Mendapatkan pekerjaan cetak dari hotel berbintang 5 ini tidak mudah. Seperti Hotel Mandarin atau Hotel Hilton. Apalagi, Saat itu saya belum punya mesin. Saya memberanikan diri dengan memberikan garansi penuh. Kalau hasil pekerjaan enggak bagus, enggak usah bayar. Walaupun ini tentu tidak mudah juga, saat itu saya cukup nekat, karena tidak semua percetakan memberikan jaminan seperti ini.
Bagaimana proses awal pembelian mesin cetak dan perkembangannya hingga sekarang?
Keuntungan dari pekerjaan saya di percetakan, lumayan. Tapi karena start dari modal yang minim, dan membangun perusahaan itu memerlukan dana operasional yang tidak sedikit dan kesiapan tempat. Walaupun awalnya kecil-kecilan, sedikit demi sedikit, uang terkumpul juga. Akhirnya, Pada tahun 1987, saya memiliki mesin Heidelberg GTO 1 warna second yang saya beli di suatu percetakan di daerah Kramat Sentiong.
Banyak pengalaman yang tidak menyenangkan yang saya alami selama menggunakan mesin bekas, yang pertama kali saya beli itu. Banyak mekanik yang sudah tidak berfungsi dengan baik. Terkadang di bagian-bagian vital yang ber-efek langsung pada kualitas. Misalnya, ink feed tinta yang sudah aus, sehingga seringkali asupan tinta ‘over’ ke roll transfer.
Setelah order semakin banyak, usaha semakin lancar, saya mulai menambah mesin. Dan opsi untuk membeli mesin baru adalah menjadi keputusan saya setiap pembelian mesin hingga sekarang.
Setelah mesin GTO 1 warna yang penuh sejarah itu, ke depannya saya selalu memutuskan membeli mesin baru, misalnya mesin GTO Z – 2 warna dan MO 1 warna. Semuanya beli dari baru.
Suatu saat, saya terima order majalah Bank Bali, 80 halaman, oplahnya 10.000 eksemplar. Saya pikir, waduh, kapan selesainya dengan menggunakan mesin Heidelberg MO 1 warna? Tapi saya kerjakan juga. Jadi, bisa dibayangkan, betapa lamanya pekerjaan kami dalam mencetak majalah, saat itu. Belum lagi, setelah di-jilid, muncul masalah lagi di proses potong tiga sisi yang juga lama. Dulu, mesin potong kertas milik saya, masih pakai yang manual, yaitu mesin potong DQ. Dari situlah saya mulai memutuskan membeli mesin potong Polar baru dan akhirnya saya membeli mesin speedmaster ukuran plano terbaru untuk kebutuhan cetak majalah.
Bapak memperluas printshop Bapak menjadi sekelas pabrik baru di Jalan Kebon Kosong, daerah Kalibaru. dimana lingkungannya cukup padat, apakah alasan Bapak?
Harapan Prima memang berawal dari sini. Memang sudah lama, banyak teman yang menyarankan untuk pindah saja ke daerah Kapuk atau daerah kawasan industri lainnya. Namun, bagi saya jarak terlalu jauh itu merepotkan, belum lagi macet di perjalanan, bagi saya tidak nyaman saja untuk bolak-balik jauh seperti itu.
Dari ruang produksi Harapan Prima yang kecil sekali. Ibaratnya satu kamar. Selama bertahun-tahun, saya lakukan penambahan area produksi. Ini dimulai setelah perusahaan berjalan dua tahun. Hampir setiap hari, saya naik ke ruang atas dan melihat rumah-rumah di belakang dari atas, sambil membayangkan, kalau ruang produksi diperluas kesana, sepertinya bagus juga. Akhirnya, saya sering tanya-tanya ke tetangga rumah di belakang, rumahnya dijual enggak?, hahaha…
Opini Bapak mengenai dunia grafika Indonesia dibanding negara-negara Asia Tenggara, seperti Thailand, Malaysia atau Vietnam?
Kualitas percetakan di Indonesia tidak kalah dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Indonesia punya mesin yang tidak kalah dengan negara lain. Cuma, memang yang perlu kita pikirkan, SDM kita yang kurang siap. SDM ini yang saya maksud adalah operator. Keterampilan masih kurang. Mungkin mereka kurang fokus. Kalau fokus, saya rasa tidak akan kalah dari luar negeri.
Belum siap disini dalam arti kesiapannya dalam bekerja, karena pendalaman teknik grafika-nya juga masih kurang. Belakangan ini saja kan, baru mulai banyak training-training. Dulu kan, jarang. Operator jarang mendapat pengalaman secara teknis dari sekolah grafika, tetapi lebih banyak karena pengalaman, sebelumnya telah pernah menjadi asisten operator. Istilahnya mereka mendapatkan ilmu dari operator seniornya, dulu. Ini lebih karena trial by error.
Lalu mindset operator kita, yaitu istilah “merasa sudah tahu” ini harus dibuang dulu dan SDM operator cetak saya mulai diberikan training cetak secara lebih spesifik, seperti training-training dari Heidelberg.
Bagaimana Harapan Prima mengeksplorasi keinginan customer agar memuaskan?
Saya banyak belajar dan melihat sesuatu yang bisa kita improve. Kalau, misalnya saya ke pameran di luar negeri, kadang lihat sesuatu yang menarik. Banyak informasi yang bisa saya ambil disana. Bukan karena orang Indonesia tidak bisa. Terkadang, orang Indonesia itu tidak mau repot.
Saya banyak ambil contoh hasil cetakan dari luar. Makanya, problem saya kalau pulang dari luar negeri, saya pasti bawa banyak hasil cetakan. Misalnya saja, saya pernah ke Hamburg, Jerman. Saya lihat katalognya di bandara. Sebuah buku kecil. Bagus sekali, dengan dibungkus kain. Saya bawa pulang untuk contoh.
Kalau boleh jujur, saat saya mengutarakan keinginan membeli mesin cetak plano terbaru, banyak teman saya menganggap saya ini ‘gila’. Sesuatu yang absurd.
Saat saya berniat beli mesin, teman-teman saya sama sekali tidak percaya bahwa saya akan membeli mesin Heidelberg Speedmaster XL 105 – 6LX UV di tahun 2009. Bahkan awalnya mungkin Heidelberg Indonesia sendiri saat itu tidak yakin, saya minat beli jenis itu, hahaha…
Mereka mungkin bukan menganggap saya tidak mampu, tetapi menganggap saya tidak mungkin memilih mesin dimana di Asia Tenggara pun, saat itu belum ada yang menginstall-nya. Bahkan termasuk Pak Pandu Cahyono (Product manager press Heidelberg saat itu) sempat tidak percaya. Padahal dia yang pertama kali menawarkan pada saya.
PT Harapan Prima Printing Jl. Kebon Kosong 3 No.18 Jakarta Pusat 10630 – Indonesia Contact P : +6221 420 9012, +6221 421 9206 F : +6221 421 9207