Pandemik Covid-19 Menjadi Ujian Berat Bagi Pengusaha Bidang Percetakan

Wabah Covid-19 secara langsung dan tidak langsung telah menggerogoti perekonomian dunia, bahkan IMF menyatakan dunia terancam resesi global. Indonesia termasuk yang terimbas. Tak terkecuali, usaha percetakan ikut terpukul hebat akibat dampak dari Covid-19.
Belum genap 1,5 bulan (sejak pertengahan Februari 2020), pelaku usaha printing sudah dibuat porak poranda. Pemasukan menipis, produksi terganggu, cicilan mesin tak terbayar. Beban pengeluaran tetap apalagi pengeluaran untuk THR idul fitri sudah di depan mata, membuat dunia usaha printing di ambang kebangkrutan massal. Hal yang tidak menyenangkan ini terutama dirasakan bagi para pelaku usaha kecil dan menengah bidang percetakan.
Dulu saat krisis moneter di tahun 2008, belum terlalu banyak pengusaha digital printing yang bertebaran seperti sekarang. Ini karena bidang digital printing baru akan tumbuh di tahun-tahun tersebut. Sehingga pengusaha digital printing (baik supplier maupun percetakannya) benar-benar baru merasakan pukulan dari krisis semacam ini. Apalagi menurut para ahli ekonomi, wabah Covid-19 jauh lebih merusak dibanding saat krisis moneter 1998 sekalipun. Ini karena semua sektor berhenti.
Para pengusaha digital printing, terutama suppliernya sudah merasakan langsung dampaknya sejak akhir Januari 2020, saat kota Wuhan dinyatakan Lockdown. Dimana banyak bahan baku dan mesin yang didatangkan dari sumber awal wabah Covid-19, yaitu dari China.
Dilansir dari Ketua Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia melalui CNBC Indonesia, Sutrisno Iwantono, menyatakan bahwa daya tahan pengusaha berbeda-beda, tergantung sektornya. Namun, secara umum mereka hanya kuat untuk membiayai pengeluaran tanpa adanya pemasukan hingga bulan Juni 2020.
“Kita tidak sanggup membiayai pengeluaran tanpa pemasukan alias tutup,” kata Iwantono.
Iwantono mengemukakan, tingkat keparahan dan durasi dari wabah ini merupakan kuncinya. Semakin parah pandemik corona dan semakin lama durasinya, maka semakin rusak ekonomi Indonesia.
Iwantono juga mengatakan satu-satunya jalan untuk menolong kebangkrutan adalah menurunkan sebisa mungkin beban biaya usaha antara lain beban biaya karyawan, beban pajak. beban listrik, gas dan sejenisnya, beban cicilan utang ke Bank atau leasing, bunga, hingga asuransi.
Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Persatuan Perusahaan Grafika Indonesia menyatakan bahwa begitu besar dampak Covid-19 terhadap industri percetakan grafika, diantaranya :
– Hampir seluruh percetakan di Indonesia pada saat ini mengalami penurunan omzet dan produksi yang lebih dari 70%.
– Di bulan Maret, April hingga juli 2020 merupakan bulan-bulan jelang tahun ajaran baru, dimana seharusnya terjadi peningkatan produksi buku-buku sekolah. Tapi karena pandemik, tidak adanya kejelasan pesanan dari penerbit maupun keputusan pemerintah, sehingga produksi mengalami penghentian. Pihak sekolah maupun instansi menunda keputusan pembelian buku atau pesanan barang cetakan karena menunggu instruksi lebih lanjut dari pemerintah mengenai penggunaan dana yang kini dialihkan untuk penanggulangan Covid-19.
– Penjualan retail mengalami penurunan drastis akibat tidak ada lagi pelanggan yang mampir ke tempat percetakan karena pembatasan kegiatan usaha, sehingga banyak dari mereka banting stir sementara ini dengan memproduksi masker kain dan APD.
– Banyak percetakan mengalami kesulitan keuangan akibat banyak pesanan yang sudah dikerjakan namun ditunda pembayarannya dan mengalami pembatalan. Ini banyak dirasakan UMKM-UMKM bidang percetakan yang memproduksi undangan pernikahan, tetapi kemudian dibatalkan.
Akibat kondisi yang tidak kondusif, banyak percetakan yang mulai merumahkan karyawan tanpa gaji atau membayar separuh gaji, membuat jadwal masuk kerja secara bergiliran, dan memberhentikan pegawai yang berstatus harian.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat hingga Jumat (10/4/2020), sudah ada 1,5 juta masyarakat yang kehilangan pekerjaan. Jumlah ini tercatat sejak awal tahun dan meningkat setelah terjadinya pandemik virus corona atau COVID-19.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah mengatakan, dari total jumlah tersebut, sebanyak 10% di Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan 90% dirumahkan oleh perusahaan masing-masing.
Secara rinci, sektor formal yang di PHK sebanyak 160.067 pekerja dari 24.225 perusahaan dan dirumahkan sebanyak 1.080.765 pekerja dari 27.340 perusahaan. Sedangkan sektor informal sebanyak 265.881 pekerja dari 30.466 perusahaan. @