Percetakan Kanisius, Salah Satu Percetakan Tertua di Indonesia
Kanisius, sebuah perusahaan yang berdomisili di Yogyakarta ini merupakan perusahaan penerbitan dan percetakan tertua di Indonesia, setelah Balai Pustaka. Jelang 97 tahun perjalanannya, bukanlah waktu yang sebentar. Ide awalnya berangkat dari Serikat Jesus, sebuah kongregasi imam Gereja Katolik. Fokus dengan pelayanan terhadap Gereja dan dunia pendidikan melalui penerbitan dan percetakan adalah pilihan Kanisius sejak awal sebagai bagian dari karya misi di Hindia Belanda.
Sekilas Sejarah
Awal berdirinya Penerbitan dan Percetakan Kanisius, pada tanggal 26 Januari 1922. Ini bermula dari keinginan kuat superior misi, Pastor J. Hoeberechts, SJ untuk berwarta. Ia melayangkan surat kepada pemimpin Bruder FIC, untuk membantu karya misi pelayanan buku dan pewartaan Gereja di tanah Jawa. Tak lama dari itu para pemimpin Bruder FIC setuju dengan gagasan tersebut, maka pada bulan Mei dan Agustus 1921 menyusullah tiap kali dua bruder, antara lain Bruder Bellinus, yang kemudian nantinya menjadi perintis Percetakan Kanisius di Yogyakarta.
Berlokasi di pabrik besi di Jalan Panembahan Senopati 16, Yogyakarta, dan berawal dari 2 mesin dan 3 karyawan, sebuah percetakan yang diberi nama Canisius Drukkerij didirikan.
Pada tahun 1926, percetakan di Jalan Senopati ini bertumbuh sebagai embrio penerbit untuk memenuhi kebutuhan buku-buku pelajaran agama Katolik dan buku-buku doa. Salah satu buku doa yang paling fenomenal adalah Padoepan Kentjana. Buku pertama kali diterbitkan pada tahun 1926 dan masih dicetak ulang sampai sekarang, tentu dengan berbagai revisi.
Percetakan ini mendukung geliat pendidikan yang berada di bawah Yayasan Kanisius, yaitu sebagai Percetakan dan Penerbitan buku pelajaran sekolah,buku-buku tulis, buku-buku administrasi untuk keperluan Misi, buku doa/sembahyang, buku nyanyian, surat kabar dan majalah.
Bruder Bellinus merintis usaha mulai tahun 1922 hingga 1928, kemudian saat Ia wafat, digantikan Bruder Bertinus (1928 – 1933). Setelah itu, kepemimpinan Percetakan Kanisius terus berganti.
Di tahun 1934, Percetakan Kanisius mulai menerima order dari masyarakat umum, perusahaan, hingga instansi pemerintahan. Bahkan kantor Kepatihan Yogyakarta yang sudah mempunyai percetakan sendiri pun terkadang mencetakkan kebutuhan administrasinya di Kanisius.
Di masa pendudukan Jepang (1942 – 1945) keadaan Percetakan tidak menentu. Untunglah pendudukan Jepang hanya “seumur jagung”. Setelah diserahkan kembali kepada misi dan diterima oleh Pro Vikaris, Pastor A. Djajasepoetra SJ (wakil Uskup). Percetakan mulai aktif lagi.
Pada tanggal 4 Januari 1946, Ibukota RI pindah ke Yogyakarta. Percetakan Kanisius cukup dekat dengan pusat pemerintahan RI (di Gedung Agung). Setidaknya dalam kurun waktu empat tahun (sampai dengan kembalinya Ibukota RI ke Jakarta, 28 Desember 1949), Percetakan Kanisius dipercaya banyak pihak untuk mencetak koran, majalah hingga mata uang ORI (Oeang Republik Indonesia) .
Selain mencetak ORI, Kanisius juga mencetak majalah Patriot. Namun, dalam perkembangannya, majalah ini semakin berbau komunis. Karena itu, Kanisius tidak mau lagi mencetaknya. Bapak Atmasentana, pemimpin umum Percetakan waktu itu, disiksa oleh komunis dengan tuduhan imperialis, pengkhianatan, dan sebagainya.
Walaupun situasi politik belum reda dan keadaan perusahaan masih suram, namun pada tanggal 27 April 1947 para karyawan sempat memperingati seperempat abad berdirinya percetakan. Dalam sambutan tertulis Mgr. A. Soegijapranata SJ menyampaikan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada karyawan yang membela, mempertahankan dan melindungi Percetakan sebagai milik Misi pada waktu yang pahit dan sulit, pada saat yang penting dan genting buat keselamatannya, tidak mempedulikan rintangan dan kesukaran yang mungkin menimpa diri mereka.
Setelah penyerahan dan pengakuan kedaulatan RI, 27 Desember 1949, terdapat orientasi baru yang signifikan bagi perkembangan dunia penerbitan umumnya dan khususnya penerbitan buku pelajaran sekolah. Orientasi baru tersebut adalah kultur yang semakin menampakkan ciri ke-Indonesiaan, apalagi di tanggal 15 Januari 1950, nama Canisius Stitching menjadi Yayasan Kanisius. Anggaran dasar juga di-Indonesiakan.
Tepatnya di tahun 1951, Kanisius memantapkan diri sebagai penerbit buku sekolah disamping tetap menerbitkan buku-buku gerejawi. Percetakan terus ditingkatkan, sepanjang tahun 1956 dan 1958 Kanisius membeli satu lagi mesin cetak dan mesin-mesin cetak lain dilengkapi dengan otomat-inleg.
Pada tahun 1962 Direksi mengusulkan perlunya mendirikan gedung Percetakan baru. Maka tahun 1965 dibelilah tanah seluas 2,3 hektar di Deresan. Pada tahun 1967, dengan kedatangan Pastor J. Lampe, sebagai pemimpin Kanisius selanjutnya, dimulailah babak baru.
Kanisius Menjadi Percetakan Offset Pertama di Indonesia
Suasana produksi di percetakan Kanisius
Sesuatu yang besar, tentu diawali dari yang kecil. Demikian pula yang dialami Kanisius. Kanisius semula hanyalah Percetakan kecil dengan satu mesin cetak buatan Jerman dengan merk Kobolt, dan hanya melayani kebutuhan sekolah.
Sejak dipimpin Pastor Lampe, yang memulai tugasnya di pertengahan bulan Januari 1967, Kanisius mengalami perkembangan pesat di berbagai sisi. Karena besarnya bakat Pastor Lampe dalam segala macam teknik, maka dalam waktu yang sangat singkat seluk beluk grafika telah dipahaminya.
Pastor Lampe sempat belajar di Eropa Barat untuk mendalami seluk beluk percetakan. Dalam waktu delapan bulan, Ia berhasil memperoleh gambaran mengenai situasi grafika di Eropa dan kemungkinan mempergunakannya di Indonesia.
Dengan pinjaman dari Missereor dan beberapa pinjaman lain, Pastor Lampe SJ dapat membeli satu unit mesin cetak offset yang lengkap. Sekembalinya ke Indonesia, Ia memulai rehabilitasi gedung yang tua dan pengembangan gedung yang baru.
Dalam waktu singkat, mesin-mesin dan alat lainnya terus dipasang, maka jadilah Kanisius sebagai Percetakan Offset pertama di Indonesia. Dengan adanya mesin-mesin baru tersebut cetak ulang dapat dilayani dengan cepat karena klise offset dapat disimpan. Ini terus berkelanjutan dengan penambahan dan penggantian mesin di setiap periodenya.
Dari mulai instalasi beberapa mesin cetak Roland seri 200, hingga Heidelberg Speedmaster SM52-4. Begitupula mesin prepress CTP dan finishing binding dan stitching-nya sudah sangat lengkap. Bahkan di era saat ini, Percetakan Kanisius pun tidak ketinggalan dalam transformasi teknologi dengan penambahan armada digital printing melalui instalasi 1 unit Konica Minolta C8000 bizhub Press dan 2 unit Océ.
Babak Baru PT Kanisius Di era Millenium
Seperti yang diungkapkan oleh Mg. Sulistyorini (Direktur sekaligus Manajer Penerbitan PT Kanisius) di buku memoar Kanisius, berjudul Sinergi Bakti Untuk Negeri, konsistensi dalam karya pewartaan ini hendaknya dilanjutkan oleh Kanisius di masa kini, dengan segala tantangan kekiniannya. Namun demikian, sebagai lembaga yang masih belia, tuntutan kemandirian finansial merupakan hal yang amat penting diperhatikan oleh Kanisius. Harus ada kecukupan sumber pendapatan yang mampu mengalirkan darah kehidupan bagi PT Kanisius. Untuk menambah peluang pendapatan, dikembangkanlah bisnis perdagangan, selain penerbitan dan percetakan yang sudah lama eksis.
Memasuki era pasar global, tidak mungkin bagi PT Kanisius untuk mencukupkan diri di lingkup pasar nasional saja, seberapapun kesiapannya. PT Kanisius harus mengambil bagian dalam dinamika pasar perbukuan dan jasa cetak internasional. Sehingga, pada tahun 2015 saat Indonesia berkesempatan menjadi tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair (FBF), ajang perbukuan internasonal paling bergengsi, PT Kanisius hadir sebagai bagian dari wajah literatur Indonesia yang dipamerkan dalam forum tersebut.
Selain mengambil peran pada momen FBF, PT Kanisius juga berpartisipasi dan menghadirkan literatur anak dalam Asian Festival of Children’s Content (AFCC). Sebuah event bagi peminat, pemerhati, pengembang dan kontributor terbitan buku anak di Singapore.
Percetakan Kanisius sendiri saat ini memiliki sekitar 130 karyawan. Sedangkan untuk seluruh divisi PT Kanisius berjumlah total 360 karyawan.
Sekelumit Wawancara Redaksi dengan Direksi Kanisius
Ki-ka : Pak F. Triyono, Bu M.A. Budiastuti, dan Ibu M.G. Sulistiyorini
Beberapa waktu lalu, Redaksi berkesempatan bertemu dengan jajaran direksi PT Kanisius dan mengadakan wawancara khusus dengan Direktur PT Kanisius, Mg. Sulistyorini dan Manajer Percetakan, M.A. Budiastuti :
Bagaimana opini Ibu tentang Bisnis Penerbitan dan Percetakan Kanisius di masa kini?
Mg Sulistyorini : “Trend sekarang, kompetisinya makin tajam di sektor percetakan dibanding masa-masa lalu. Penerbitan juga sama, pemainnya sangat banyak. Hanya saja di penerbitan mengalami kendala menurunnya pasar.
Kalau di percetakan, prospek pasar sebenarnya masih cukup besar, tetapi pemain percetakan makin banyak. Karena persaingan tinggi, margin menipis. Tantangannya adalah bagaimana dengan margin tipis, kualitas tetap dijaga. Apalagi image Kanisius adalah kualitas cetak yang prima sejak dulu. Berarti teknologi, skill dan kreativitas operator harus terus dijaga dan ditingkatkan.”
Sekarang perkembangan begitu pesat dan dunia sudah bergeser ke era digital, bagaimana itu berimbas ke Penerbitan dan Percetakan Kanisius?
M. A. Budiastuti : “Dari sisi oplah cetak memang mengalami perubahan, saat ini cenderung short-run atau print on-demand. Sekarang, jarang ada buku dicetak dengan oplah besar. Industri cetak masa kini lebih banyak variable printing. Harus bermain kreativitas. Jenis buku yang dicetak makin variatif. Lama kami bermain di cetak offset,
Sejak 2005 kami juga bermain di cetak digital. Kami pernah menggunakan HP Indigo. Kini kami menggunakan Océ dan Konica Minolta. Ini bermula dari pemikiran pendahulu kami di tahun 2000, bahwa tren teknologi cetak digital akan semakin berkembang. Kecenderungan orang mencetak dalam oplah kecil. Bisa melayani oplah 1 eksemplar hingga oplah berapapun, personalized, dan variable print.”
Mg. Sulistyorini : “Menjawab tantangan kehadiran media online dengan e-booknya tidak membuat order cetak konvensional terhenti. Sekolah-sekolah masih tetap mencetak hardcopy seperti BSE, atau mencetak buku tulis personalized berkarakter tertentu . Jadi, konsumen buku dan barang cetakan tidak melulu menggunakan softcopy dan meninggalkan hardcopy.”
Kami sempat berpikir Percetakan Kanisius hanya terfokus untuk kebutuhan Gereja atau sekolah-sekolah Katolik. Menurut anda?
Mg. Sulistyorini : “Untuk percetakan, kami bergerak untuk keperluan komersial. Pasarnya, market umum bahkan packaging-packaging yang sederhana, kami terima juga. Order dari Rumah Sakit, Hotel, Sekolah-sekolah umum.
Untuk captive market kami, memang kami melayani gereja dan sekolah katolik di mana mungkin untuk percetakan umum tidak mudah untuk bisa masuk. Jadi, kami profesional dalam menerima order cetak, tidak memandang latar belakang agama atau kelompok tertentu. Yang penting isinya yang dicetak tidak bertentangan dengan visi misi kami, tidak merusak nilai-nilai kemanusian, dan mengembangkan sikap pluralisme.”
Kelebihan lain Percetakan Kanisius dengan Percetakan Umum lainnya?
M.A. Budiastuti : “Kami selalu memperhatikan kualitas dan kreativitas, baik pada hasil akhir maupun proses. Kami sudah bersertifikat ISO 9001 : 2008 dan kini tengah menuju ISO 9001 : 2015. Kami juga memperhatikan pengolahan limbah percetakan kami. Kanisius adalah percetakan yang sudah mendapatkan proper biru 100 prosen taat terhadap persyaratan pengolahan limbah industri. Kami sangat bersungguh-sungguh dalam mengolah limbah.
Kami menggunakan metode W2M (water waste minimize), kami gunakan lagi air yang sudah kami olah tersebut untuk menyirami tanaman dan lahan hijau. Kemudian limbah B3 yang tidak mampu kami olah, kami simpan di tempat penyimpanan sementara limbah B3. Secara periodik, limbah itu akan diambil oleh yang berwenang.
Maka setiap sebulan dua kali, air limbah kami periksakan ke Balai Penelitian lingkungan hidup (BPLH). Kami juga ada 3 kolam, yang digunakan untuk menampung hasil akhir pengolahan limbah. Beberapa kali pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta datang dan merekomendasikan Kanisius sebagai tempat belajar bagi perusahaan percetakan lain dalam pengolahan limbah.”