Perjalanan 30 Tahun Eka Print, Bali
Eka Print, dalam usianya yang telah menginjak tiga puluh tahun, kini menjelma menjadi percetakan paling terkemuka di Bali. Berdiri pada tahun 1988, dengan lokasi outlet pertamanya di Jl. Terompong no.2 Denpasar, dengan hanya bermodalkan 2 unit mesin fotokopi Sharp 270 bekas, 1 orang karyawan.
Di tahun 1991 dengan nama Eka Grafis, membuka cabang pertamanya di Jl. Katrangan No.8 Denpasar,dan perusahaan terus berkembang hingga sempat mencapai 13 cabang. Di tahun 2013, Eka Grafis Group sudah memiliki 9 cabang di wilayah kota Denpasar. I Nyoman Suarja (biasa dipanggil Pak Eka). Sosok pekerja keras. Bahkan hingga saat ini di usianya yang beranjak 54 tahun, Pak Eka yang asli kelahiran Tabanan, Bali ini masih sering turun langsung melayani konsumen di outlet. Berikut ini petikan hasil wawancara dengan beliau secara eksklusif yang hanya bisa ditemukan di Majalah Print Graphic :
Bagaimana sejarah awal usaha Bapak mendirikan Eka Grafis?
Saya memulai usaha fotokopi pada tanggal 28 November tahun 1988. Motto-nya sejak awal adalah menomorsatukan kualitas dan harga kompetitif. Usaha tersebut Saya mulai saat masih kuliah semester enam di Universitas Warmadema, Fakultas Ekonomi, urusan Akuntansi.
Jiwa saya memang ingin wiraswasta. Saya memulai dengan 1 (satu) mesin fotokopi bekas merk Sharp.
Saya mengontrak tempat usaha, dengan biaya Rp 600 ribu untuk 3 tahun. Bisnis saya ini awalnya tidak direstui oleh orang tua. Percetakan dan fotokopi Eka Print ini saya rintis selama 4 tahun, sejak saya mulai kuliah hingga lulus. Sehingga dosen-dosen saya tahu betul bagaimana Eka Print dibangun.
Karena perjalanan saya di usaha fotokopi itulah, dalam beberapa kesempatan, saya diundang oleh pihak kampus tempat saya kuliah dulu. Bahkan, di tahun 1989, saya sempat diminta pihak kampus untuk memberikan kuliah umum pembekalan bagi mahasiswa baru.
Pada tahun 1990, saya sudah punya empat mesin. Dulu, tidak pernah terpikirkan bisnis saya seperti sekarang ini. Hingga tidak sempat menikmati hasil usaha saya sendiri. Hinaan sana sini membuat saya bertekad bahwa saya harus sukses. Dulu, pikiran saya hanya beli mesin dan mesin. Sehingga, hanya dalam kurun waktu tiga tahun, di tahun 1991, saya sudah membuka cabang.
Keuntungan dari usaha yang saya dapatkan, pasti saya belikan mesin lagi. Sampai tahun 2000, saya sudah punya sepuluh outlet. Nah, sejak itu sedikit demi sedikit, saya dan keluarga mulai bisa menikmati hasil usaha. Setelah sepuluh tahun usaha, barulah saya bisa beli mobil setelah bertahun-tahun pakai motor saja. Dan saya membeli mesin tidak dengan cara menghutang. Keuntungan yang saya dapatkan, saya investasikan. Tidak pernah cari pinjaman melalui leasing.
Bagaimana cara Bapak meningkatkan pemasaran?
Prinsip saya, promosi dari mulut ke mulut lebih bagus daripada koran, media, dan sebagainya. Itu akan menciptakan hasil dan kualitas penanganan yang bagus. Begitu customer datang sekali saja, mereka pasti akan datang untuk kedua kalinya. Apa pun produk kita, tidak boleh jelek di mata konsumen. Motto saya, melayani dengan hati agar selalu menjadi yang terdepan. Dengan berani menawarkan produk dan jasa yang bagus berarti harus berani membeli teknologi terbaik.
Bali ini marketnya tidak terlalu besar, pemainnya sedikit. Proses perkembangannya juga lama. Saya punya visi menjadi yang paling atas di dunia printing dan fotokopi, tentu teknologi kita kedepankan. Terjun ke dunia printing itu persaingannya ketat. Teknologi ketinggalan akan sulit bersaing.
Mesin apa saja yang digunakan Eka Print?
Awal usaha, Eka Grafis membeli mesin fotokopi bekas, berbagai merk, dimulai dari merk Sharp, lalu Canon dan Xerox. Hingga pada tahun 2004 saat launching produk mesin KIP monochrome wide format, angan-angan saya mulai terwujud untuk membangun perusahaan percetakan. Karena bidang usaha sudah bukan hanya desain dan fotokopi, nama usaha pun diubah dari Eka Grafis menjadi Eka Print.
Sempat pindah ke jalan Waturenggong, saya menggunakan printer HP ukuran A3 dan HP deskjet, juga HP large format yang disuplai oleh Gading Murni. Kemudian, saya membeli Xerox 7300.
Pada tahun 2007, saat launching produk Konica Minolta yang bisa print dan copy. Saya langsung membelinya. Saat itu harganya 80 juta, saya beli dengan tunai itu pun yang tadinya mau kredit, ternyata tidak disetujui oleh Bank. Saya juga sempat membeli Ricoh dan Sharp. Outlet kita saat itu sudah 13 cabang, tapi masih di bidang fotokopi semua.
Di tahun 2010, saat saya membeli 3 unit Konica Minolta bizhub PRO C6500, yang disalurkan untuk outlet Eka Print dan outlet saudara-saudara saya. Saya mendapat fasilitas tour ke Jepang dan saya juga sempat melakukan kunjungan ke percetakan milik Pak Chandra, Bintang Sempurna di Bendungan hilir dan Pak Dawam, percetakan Buring di Depok . Ternyata impian saya sama halnya seperti yang saya liat disana.
Di tahun 2012, saya membeli Konica Minolta bizhub PRO C8000 hingga saya mendapat fasilitas ke drupa, Jerman. Untuk menyaksikan mesin terbaru Konica Minolta, KM-1. Saat ini Eka Print menggunakan 12 unit mesin Fuji Xerox monochrome, Konica Minolta Accuriopress, Phaeton, Canon, Rowe, KIP, Roland, Trotec, Horizon dan Mimaki.
Bagaimana ceritanya Eka Print bisa menginstalasi 3 unit mesin HP Indigo (2 unit seri 5500 dan 1 unit seri 5600)?
Pertama kali melihat HP Indigo, di tempatnya Pak Dawam Suroso, pemilik Buring printing. Lalu saat kunjungan ke drupa 2012, saya juga sempat menyaksikan HP Indigo. Saya hanya bisa terpana melihat mesin canggih itu. Ingin sekali membelinya saat itu juga, tapi rasanya tidak sanggup karena harganya mahal sekali bagi saya. Saat itu harganya kisaran 2 milyar lebih. Tidak ada pihak penjual yang menawarkan pada saya mesin HP Indigo tersebut, mungkin saat itu saya masih dianggap meragukan, hehehe…
Di tahun 2013, saya mendapat kabar dari Pak Adrianus – Samafitro bahwa Samafitro sudah buka cabang dari Bali. Dan akhirnya, pihak Samafitro pun datang ke tempat saya dan menawarkan HP Indigo. Setelah survey sana-sini, dan saran positif dari Pak Chandra pemilik Bintang Sempurna – Benhil, mengenai prospek HP Indigo, benar-benar membesarkan hati saya, lalu saya mengambil keputusan penting yang cukup pelik dan cenderung nekat, saya memutuskan untuk membeli mesin HP Indigo.
Saya dan istri sempat berhitung dulu, apakah bisa membeli mesin HP Indigo ini? Ternyata pada akhirnya kami malah memutuskan membeli 2 unit HP Indigo 5500 sekaligus, mengingat kebutuhan kami yang mendesak, dan cabang kami yang banyak, sudah sangat membutuhkan mesin dengan kapasitas dengan beban cetak yang tinggi dan cepat selesai. Satu unit HP Indigo saya beli secara tunai, kemudian yang satunya lagi saya cicil sebanyak lima kali ke vendor setelah negosiasi dengan mereka. Lagi-lagi, waktu itu saya tidak mau pakai leasing. Bahkan, kini di tahun 2015, mesin HP Indigo di Eka Print, bertambah lagi menjadi 3 unit. Yaitu tambahan 1 unit HP Indigo 5600.
Dari keputusan saya untuk menginstalasi 3 mesin HP Indigo ini, tak heran bila muncul rumor dari orang-orang sekitar bahwa saya dianggap mereka memiliki tanah banyak, atau saya dianggapnya memiliki kebon cengkeh atau sawah yang banyak, sehingga mampu beli mesin cetak harga milyaran, macam-macam lah, pokoknya, omongan orang berseliweran. Dan itu wajar bagi saya. Padahal, pencapaian ini semua merupakan hasil usaha yang ditabung cukup lama, he he he…..”
Ada cerita unik saat perjalanan usaha selama ini?
Saya sempat punya impian bisa keliling dunia. Tahun 2009, saya dan isteri mulai bikin paspor, tapi belum tahu bagaimana prosedur ke luar negeri dan situasi yang harus saya lakukan disana. Pucuk dicinta ulam tiba, awalnya pada bulan maret, saya menanyakan mesin ke Group Muncul di Jakarta. saya diundang group Muncul ke Singapore. Akhirnya saya berangkat ke Singapore. Ini menjadi pengalaman pertama saya ke luar negeri. Sejak itu, saya bertekad untuk mengajak keluarga ke luar negeri. Karena sudah tahu caranya, saya pun berani ke luar negeri sendiri mengajak keluarga, he he he…