Bertahun-tahun bekerja sebagai manajemen di Krakatau Steel, lalu di Matahari Dept Store, Yulianto mulai merasa jenuh menjadi karyawan. Karena sudah merasa tidak ‘sreg’ lagi dengan status pekerja, Yulianto mengundurkan diri.

Ia mencoba peruntungannya dengan membuka usaha sablon kecil-kecilan di tahun 1990. Tidak mudah, tentunya merintis karier menjadi seorang pengusaha di usia yang masih muda, 32 tahun. Dengan modal pas-pasan, order bisa dihitung jari, Yulianto tetap nekad. Untuk menutupi kekurangan modal usaha, Ia nyambi dengan menjadi marketing jual beli mobil bekas. Di tahun 1994, ada peluang untuk memperbesar bisnis sablonnya setelah mendapat order tetap dari PT Telkom. Awalnya, ada seorang pegawai Telkom yang mampir ke rumah kontrakan tempat usaha sablonnya.

Nasib baik ternyata datang tak disangka-sangka. Yulianto diberikan order oleh pegawai Telkom tersebut yaitu keperluan cetakan untuk Telkom. Beberapa keperluan cetakan Telkom mulai dari brosur, kalender, agenda dikerjakan Yulianto, apalagi yang berkaitan dengan sablon. Karena hasil pekerjaan Yulianto cukup memuaskan, order dari Telkom pun terus berlanjut. Dari hasil tabungannya, akhirnya Ia mampu membeli sebidang tanah untuk membuat workshop dan memiliki satu orang karyawan.

Baca juga artikel: Dawam Suroso, pemilik, percetakan ritel Di Depok

Perlahan tapi pasti, Yulianto mulai menambah karyawan, apalagi karena pekerjaannya masih lebih banyak manual. Bisnisnya terus berkembang dengan nama perusahaan, Mitra utama. Perusahaannya pun mulai punya nama di daerah Kebayoran Lama. Guncangan krisis moneter tahun 1997 cukup keras menerpa, membuat ia hampir menutup usahanya. Saat itu, karyawannya bahkan sudah digaji hanya separuh karena beban berat operasional tidak sebanding dengan pemasukan. Tekanan batien yang dirasakan Yulianto saat itu bukan alang kepalang. Hingga di bulan-bulan yang paling krusial di tahun yang sama, pertolongan Tuhan datang. Sebuah order sablon cukup besar diterimanya, benar-benar menyelamatkan ‘nyawa’ perusahaan, sehingga denyut Mitra Utama pun berlanjut.

Di tahun 1999, dimana untuk pertama kalinya penyelenggaraan pemilu pasca jatuhnya rezim orde baru, order-order sablon Mitra Utama meningkat drastis. Permintaan yang deras sablon dan cetak atribut kampanye di era awal reformasi tersebut, sekali lagi menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan Di era tahun 2000-an, tepatnya sekitar tahun 2004 dan 2005, Mitra Utama mulai melirik bisnis cetak digital printing berbasis teknologi baru saat itu. Digital large format outdoor printing. Atau yang sering disebut juga mesin plotter.

Mungkin Mitra Utama menjadi salah satu perusahaan yang pertama merintis usaha cetak di mesin digital printing large format. Saat itu belum banyak yang memiliki mesin plotter. Kebanyakan pengusaha belum berani mencoba. Sehingga tak jarang, principal dari Jepang atau China didatangkan langsung untuk mempromosikan produknya ke pemilik percetakan di Jakarta, termasuk ke Yulianto.

Myjet dengan printhead Xaar 128/200 adalah pilihan mesin pertama Mitra Utama. Ini merupakan mesin berbasis teknologi pertama yang dimilikinya. Proses pembelian pun relatif sederhana. Pihak leasing menyetujui peminjaman modal pembelian untuk mesin pertama Mitra Utama tersebut, padahal Yulianto belum pernah memiliki mesin. Sesuatu yang tidak mudah dilakukan sekarang. Bahkan untuk menutup uang muka pembelian mesin pertamanya, mobil pribadi miliknya pun Ia jual. Mesin digital printing large format banyak membawa peningkatan usaha bagi mitra Utama. Sebagai salah satu pioneer di Kebayoran Lama, Mitra Utama kelimpahan order dari segala penjuru. Sehingga, perlahan tapi pasti, Mitra Utama mulai memiliki cabang-cabang workshop. Cabang di Mega Mall Ciputat, dengan dua ruko.

Kemudian di Pondok Labu, Ciputat dan daerah di dekat rumahnya di kawasan Bintaro Kini, Bapak dari dua putri ini sudah memiliki 5 (lima) cabang percetakan di area Jakarta dan Tangerang. Dengan 70 karyawan dari seluruh cabang, karyawan Mitra Utama mayoritas betah bekerja pada Yulianto. Ini dikarenakan pribadinya yang selalu merendah, disukai karyawannya. Karyawan yang memiliki integritas tinggi sangat membantu perkembangan perusahaan. Sehingga produksi meningkat, omzet bertambah dan penambahan mesin cetak terus dilakukan. Mesin-mesin plotter outdoor makin banyak dimiliki Yulianto untuk menyuplai kebutuhan produksi di setiap cabangnya. Merk-nya pun semakin beragam, ada Myjet, Crystal Jet dengan printhead SEIKO Tech, plotter indoor Roland DG Soljet Pro II dan mesin yang terbaru, Mimaki JV33-160 yang dibelinya dari DVT.

Keunikan Mitra Utama adalah pembelian mesin cetak konvensional offset justru menyusul, setelah memiliki banyak mesin digital printing terlebih dahulu. Hal ini didorong karena banyaknya order yang tak sanggup lagi dilayani digital printing. Di tahun 1999, dimana untuk pertama kalinya penyelenggaraan pemilu pasca jatuhnya rezim orde baru, order-order sablon Mitra Utama meningkat drastis. Permintaan yang deras sablon dan cetak atribut kampanye di era awal reformasi tersebut, sekali lagi menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan.

baca juga artikel : Pemilik Revo print, Eddy Subagiyo dalam merintis usahanya

Mungkin Mitra Utama menjadi salah satu perusahaan yang pertama merintis usaha cetak di mesin digital printing large format. Saat itu belum banyak yang memiliki mesin plotter. Kebanyakan pengusaha belum berani mencoba. Sehingga tak jarang, principal dari Jepang atau China didatangkan langsung untuk mempromosikan produknya ke pemilik percetakan di Jakarta, termasuk ke Yulianto. Di era tahun 2000-an, tepatnya sekitar tahun 2004 dan 2005, Mitra Utama mulai melirik bisnis cetak digital printing berbasis teknologi baru saat itu. Digital large format outdoor printing. Atau yang sering disebut juga mesin plotter. Mitra Utama memandang perlunya mesin yang mampu memenuhi order-order semi heavy duty. Karena oplah-oplah middle di kisaran 1000 s.d. 5000 eksemplar banyak diterimanya. Sehingga Yulianto pun membeli mesin cetak Heidelberg Speedmaster 52, empat warna.

Menanggapi pertanyaan redaksi mengenai perkembangan industri printing saat ini. Yulianto secara lugas mengatakan bahwa ada rasa kekuatiran dengan perkembangan teknologi digital printing yang begitu cepat. “Belum juga kita memiliki mesin digital printing terbaru, sudah keluar teknologi digital printing lainnya,“ ujarnya. “Belum lagi harga ongkos cetak di bisnis retail ini yang saling banting harga, bahkan sampai pada kisaran harga yang semakin tidak realistis. Membuat banyak percetakan yang tidak memiliki modal kuat pun akhirnya bertumbangan.” Tiadanya regulator yang cukup berpengaruh dalam upaya mengendalikan harga ongkos cetak agar diatur secara wajar. Bahkan pemerintah pun terkesan berpangku tangan terhadap industri grafika. Industri ini sebenarnya menyerap pajak besar dari bahan baku maupun pengadaan mesinnya, tetapi tidak ada action yang cukup berarti selain hanya wacana seribu kata di setiap forum. ‘Hukum rimba’ industri printing tetap berlangsung sampai sekarang. Entah sampai kapan. Ini juga yang selalu membuat galau Yulianto. Rasa galau yang mewakili banyak pengusaha cetak lainnya di negeri ini.